Rabu, 25 November 2015

  • Kesatuan Umat Pada Manhaj Nubuwwah

    Generasi awal Islam yang langsung dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 23 tahun, adalah generasi terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Nilai-nilai Islam diwujudkan secara bertahap dan mencapai kesempurnaannya. Kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin selama 30 tahun. Masa ini disebut oleh Rasulullah sebagai Khilaafah ‘alaa minhaajin nubuwwah. Peradaban inilah yang semestinya menjadi tolok ukur yang paling benar bagi muslimin dalam memperjuangkan Islam dan syariahnya.

    Pergeseran Peradaban
    Setelah wafatnya Khalifah Ali radliyallahu ‘anhu, terjadilah pergeseran kepemimpinan pada bentuk Mulkan / kerajaan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Kekhilafahan pada umatku 30 tahun, kemudian kerajaan sesudah itu. (HR. Ahmad).

    Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut terbukti dengan pernyataan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ketika ditanya oleh Abdurrahman bin Abi Bakrah: “Apakah engkau seorang raja/mulkan?, maka ia menjawab ; “Sungguh kami ridla dengan raja”. (Musnad Ahmad, Juz 5 hal 50)

    Adapun pada masa Umar bin Abdul Aziz, para ulama berbeda pendapat. Umar bin Abdul Aziz yang termasuk Bany Umayyah, sempat memimpin umat ini selama kurang lebih 2,5 tahun (99-101 H.). Beliau berusaha untuk mengembalikan sistem Khilafah ‘alaa minhaajin nubuwwah, yang lebih mengedepankan manhaj kenabian dan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Model kepemimpinannya lebih banyak mengikuti Khalifah Umar bin Khaththab, dan keilmuannya lebih mendekati Hasan al Bashri.

    Di masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz Islam diwujudkan kembali sebagaimana di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Dimasa ini pula perkembangan Islam sampai ke Nusantara. Yakni setelah keislamannya Raja Melayu Budha, Sri Indrawarman di Pantai Timur Sumatera.

    Sikap dan sifatnya yang tegas dan bijak, tidak disukai oleh sebagian Bany Umayyah, sehingga kepemimpinannya diakhiri dengan pembunuhan. Maka sistem kepemimpinan muslimin sesudahnya, kembali kepada sistem Mulkan, yang lebih cenderung berkiblat pada kekaisaran Persia dan Konstantinopel.

    Pergeseran Pemahaman
    Pergeseran sistem kepemimpinan Ali radliyallahu ‘anhu kepada Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, adalah diiringi pergeseran pemahaman muslimin dari Khilafah kepada Kerajaan.

    Penyimpangan sistem khilafah semakin jauh setelah diterjemahkannya buku-buku politik Yunani Kuno, karya Plato dan Aristoteles, (Politeia, Polis dan Politica), kedalam bahasa Arab, sehingga menjadi satu kitab yang berjudul As- Siyasah. Buku-buku tersebut diterjemahkan oleh Hunain bin Ishaq, seorang ilmuwan Nasrani, yang difasilitasi oleh Bany Abbasiyyah, Ma’mun bin Harun Ar Rasyid, di Baitul Hikmah. (Kamus Al Munjid fil Alam, hal. 226)

    Hunain bis Ishaq yang bergelar Abu Zaid al ‘Ibadi (194-263 H./810-877 M. ), memiliki andil besar dalam memperkenalkan pemikiran Yunani kepada muslimin.

    Dasar –Dasar kesatuan umat Islam
    Dalam hal ini, para ulama beragam dalam mengklasifikasi unsur-unsur kesatuan umat Islam. Hal ini sangat tergantung kepada sudut pandang yang digunakan. Atas dasar inilah diperlukan kearifan sikap dan lapang dada atas perbedaan tersebut.

    Minimal ada 10 Unsur Kesatuan Muslimin
    Pertama, Kesatuan Aqidah. Umat Islam memiliki suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah secara sadar dan ikhlash. Dengan inilah, ikatan tauhid terwujud dalam diri seorang muslim.

    Kedua, kesatuan ibadah. Setiap muslim adalah yang terikat dengan ibadah yang satu hanya kepada Allah, dan diwujudkan dengan Shalat Lima Waktu, Puasa di bulan Ramadlan, Zakat bila telah sampai nishab, dan kewajiban-kewajiban lain dalam Islam. Maka dengan inilah, umat Islam bersatu dalam menunaikan ibadah, tanpa membedakan jenis, bangsa dan bahasa, serta warna kulit.

    Ketiga, kesatuan figur/uswah. Setiap muslim memiliki keteladanan yang baik pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari permasalahan pribadi berupa perilaku dan akhlaqnya, sampai masalah keluarga, masyarakat dan dinamika hidup lainnya.

    Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla :

    “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”(QS. Al Ahzaab : 21)

    Keempat, kesatuan sejarah. Seorang muslim, tidak terikat dengan tanah air, suku atau warna kulit tertentu, akan tetapi ia terikat dengan muslim lainnya karena Sejarah Islam.

    Kelima, kesatuan jalan. Jalan kaum muslimin adalah satu, yakni jalan Allah yang ditempuh oleh para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin. (QS. Al Fatihah : 6-7, An Nisaa : 69)

    Keenam, kesatuan dustur. Sumber Undang-undang (Dustur) bagi muslimin adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Tidaklah dibenarkan seorang muslim mengambil rujukan, menjadikan sumber hukum kepada selain Al Qur’an dan As Sunnah. (QS. 4: 65, 33: 36, 49: 1

    Ketujuh, Kesatuan Pimpinan / Imaam. Imaamah/Khalifah adalah kewajiban syari’ah yang harus diwujudkan, ia bukanlah sekedar cita-cita yang diperjuangkan, akan tetapi harus diamalkan secara bertahap. Seperti halnya kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Imaam, baru kemudian Allah datangkan Abu Bakar, Hamzah, Umar, Khalid, dll. Demikian pula dengan hari ini, Syari’at Islam ini harus diimani, diamalkan dan dishodaqahkan dengan taushiyah kepada muslimin lainnya.

    Figur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai figur wahyu yang menjadi rahmat seluruh alam, dengan sifatnya yang Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.

    Beliau memiliki fleksibilitas kepemimpinan, sehingga dapat dijadikan figur oleh siapapun. Oleh setiap pribadi, pedagang, dokter, ekonom, kepala rumah tangga, direktur perusahaan sampai kepala negara, dapat mengambil manfaat nilai-nilai keteladanan pola kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi beliau tidaklah sama dengan mereka semua. 

    Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan raja/penguasa. Beliau adalah hamba dan utusan Allah, sebagaimana pernyataan beliau sendiri dalam surat-surat yang dikirimkan kepada para raja : Habsyi, Mesir, Persia, Romawi, Oman dll. Kalimatnya adalah :

    bismillahirrahman nirrahim

    dari Muhammad hamba Allah dan rosulnya
    kepada raja romawi...

    (Iqamatul hujjah ‘alal ‘aalamiin binubuwwah khatamin nabiyyin, Juz 1, hal 37 )

    Dalam QS. Al Ghatsiyyah : 22, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”

    Dalam hadis shahih, Rasulullah nyatakan “Aku Bukan seorang Raja” (HR. Bukhari, dari Anas bin Malik , Syarhu Al Madany Al Muassasah As Su’udiyah, Mesir juz 2 hal 110, hadits no.3312)

    Khalifah/Imaamah pun bukan Raja

    Karena khalifah / Imaamah berada pada manhaj nubuwwah, maka ia bukanlah raja, akan tetapi sebagai ra’in/penggembala. (HR. Bukhari, Kitabul Ahkaam IX/77, Muslim II/25), dan sebagai junnah/perisai (HR. Muslim II/132).

    Hal ini tidak berarti Islam anti kekuasaan, namun diyakini bahwa kekuasaan itu mutlak milik Allah, dan akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Ali Imran : 26)

    Kekuasaan akan diberikan oleh Allah kepada yang mendapat amanah untuk memikulnya. Dan bumi Allah ini telah diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang Sholih. (QS. Al Anbiya : 105)

    Kedelapan, kesatuan manhaj. Terwujudnya kepemimpinan kaum muslimin, adalah dengan manhaj nubuwwah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :"khilafah ala minhajin nubuwwah

    Atas dasar inilah, seluruh muslimin harus mengkaji dan mempersatukan pemahaman dalam manhaj nubuwwah (kenabian). Kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radliyallahu ‘anhum, adalah potret yang kongkrit dalam manhaj nubuwwah. Mereka melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keberadaan khalifah saat itu adalah melanjutkan hasil perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Sosok Khilafah 'ala manhaj nubuwwah
    Jika memahami Khilafah ‘ala manhaaj/minhaaj nubuwwah yang pertama, jumhur ulama bersepakat, bahwa mereka adalah : Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Sebagian ulama ada juga yang berpendapat sampai Umar bin Abdul Aziz.

    Adapun tentang Khilafah ‘ala manhaaj/minhaaj nubuwwah yang kedua, yakni setelah melewati masa Mulkan Adldlan dan Mulkan Jabariyyah, ada ikhtilaf/perbedaan: Ada yang berpendapat, khilafah yang dimasud adalah Imaam Mahdi, yang ditunggu kehadirannya. atau Khalifah harus dari keturunan tertentu. Khilafah yang dimaksud adalah hasil pemilihan para ulama / syura se dunia juga diwujudkan dengan merebut kekuasaan / kudeta. sementara pendapat lain menyatakan Khalifah wajib ditegakkan secara bertahap karena khalifah bagi muslimin tidak boleh vakum. dan masih ada pemahaman lainnya.

    Kesembilan, Kesatuan Jama’ah. Berdasar pada hadits : Shahih Al Bukhari Juz 4/ 225, dan Shahih Muslim Juz 2/ 134-135

    Demikian pula dalam Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, juga lainnya. Bahwa komunitas muslimin yang terpimpin dengan seorang Imaam disebut dengan JAMA’AH MUSLIMIN Dalam Maktabah Syamilah edisi 2009, yang terdiri dari 6656 Kitab, memuat kata Jama’ah muslimin sebanyak 3986 x. Pada edisi sebelumnya dari jumlah kitab 5505, terdapat kata Jama’ah Muslimin/Jama’atul Muslimin sebanyak 2942 x.

    Kesepuluh, Kesatuan Tujuan. Setiap muslim hendaknya memiliki komitmen dan tujuan yang sama, bahwa mewujudkan dan memperjuangkan Islam adalah untuk : Mardlatillah, Maghfiroh dan Fadlilah. serta Izzul Islam wal Muslimin.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism